Wisuda merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu bagi setiap siswa, baik di tingkat Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Pertama (SMP). Acara ini biasanya diwarnai dengan berbagai kegiatan seremonial yang melibatkan keluarga dan teman-teman. Namun, seiring berjalannya waktu, perayaan wisuda ini semakin menjadi perdebatan—apakah ini benar-benar perayaan penting atau justru menjadi bagian dari gaya hidup konsumtif yang semakin mengakar dalam masyarakat?
Wisuda SD dan SMP sering kali dianggap sebagai tahap transisi yang simbolis bagi siswa. Kegiatan ini memberikan pengakuan atas usaha dan kerja keras yang telah dilakukan selama masa belajar. Para siswa diajarkan untuk menghargai pendidikan dan menghormati perjalanan akademis mereka. Selain itu, wisuda merupakan kesempatan bagi orang tua untuk melihat anak-anak mereka mendapatkan penghargaan atas pencapaian akademis yang diraih. Namun, di balik makna tersebut, terdapat kekhawatiran tentang bagaimana perayaan ini kadang-kadang lebih fokus pada aspek glamour dan bukan makna sesungguhnya dari pendidikan itu sendiri.
Di beberapa tempat, wisuda sekarang diadakan dengan sangat meriah, lengkap dengan kostum formal, dekorasi yang mencolok, dan bahkan pesta yang mewah. Hal ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di sinilah muncul pertanyaan tentang apakah perayaan ini menjadi gaya hidup konsumtif bagi masyarakat. Banyak orang tua merasa terkena tekanan untuk mengadakan acara wisuda yang tidak hanya sekadar sederhana, tetapi harus megah agar dapat bersaing dengan acara wisuda lainnya. Beberapa nyatanya berutang atau menggunakan tabungan demi menyelenggarakan acara tersebut, yang justru mengalihkan fokus dari esensi pendidikan itu sendiri.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pengaruh media sosial, di mana banyak orang yang merasa perlu menunjukkan kesuksesan anak mereka melalui postingan foto atau video yang glamor. Mereka ingin anak mereka terlihat menonjol dibandingkan teman-teman lainnya. Dalam hal ini, wisuda bisa saja berubah menjadi ajang pamer untuk menunjukkan status sosial, bukan momen menghargai capaian akademis.
Sebagai alternatif, perkembangan lembaga pendidikan seperti pesantren modern di Bandung atau boarding school di Bandung menunjukkan kemajuan dalam pendekatan pendidikan. Pesantren Al Masoem Bandung, misalnya, menawarkan pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek akademis tetapi juga pembentukan karakter dan nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, perayaan wisuda mengambil bentuk yang lebih sederhana, tetapi tetap bermakna. Acara tersebut difokuskan pada penyerahan penghargaan dan penguatan nilai-nilai pendidikan yang telah diajarkan selama ini.
Di pesantren modern, momen wisuda lebih diarahkan untuk refleksi terhadap perjalanan pendidikan dan bagaimana siswa dapat menerapkan ilmu yang didapat dalam kehidupan sehari-hari. Acara ini tidak terlalu menekankan pada kemewahan, tetapi lebih pada makna, tujuan, dan komitmen untuk melanjutkan perjalanan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Dengan demikian, penting untuk mengingat kembali makna dari perayaan wisuda. Meskipun hal itu bisa menjadi suatu momen bahagia dan dikenang seumur hidup, terdapat keharusan untuk tetap memiliki kesadaran akan dampak dari gaya hidup konsumtif. Memiliki pendidikan yang baik dan karakter yang kuat adalah tujuan utama, dan perayaan wisuda seharusnya menjadi refleksi atas pencapaian tersebut, bukan sekadar alat untuk menunjukkan status sosial.